Matahari Kecil Menyapa Alam

Jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Belum terlihat apa-apa di luar sana, semuanya masih gelap gulita. Hanya nampak kabut bercampur asap-asap perapian yang menyelimuti desa sejak terbenamnya matahari, tak terkecuali di penginapan sederhana tempat kami menginap. Bagi kami bukan pengap dan kotornya penginapan yang menjadi masalah dalam acara liburan kali ini, melainkan dinginnya udara yang mencapai puncaknya hingga -1°C. Di musim panas, suhu udara gunung Bromo memang jauh lebih dingin dari biasanya.

Bunda mulai gelisah tak bisa tidur. Saya pun sama, tapi bukan karena insomnia, melainkan demi menjaga anak kami Maila agar tidak hypothermia. Ya, Maila adalah bayi perempuan kami yang baru menginjak 7 bulan dan masih merangkak. Mengajaknya berlibur ke Bromo saat suhunya ekstrim memang sangat beresiko, dan saya yakin tidak banyak orang tua nekat yang melakukannya. Tapi apa mau dikata, inilah nazar kami untuk Maila, kami ingin mengajaknya berpetualang sedini mungkin agar mengenal indahnya alam Indonesia.

Maila masih terlelap, baju hangat tiga lapis dan selimut tebal menjaganya dari sengatan udara dingin pegunungan Tengger. Tidurnya sangat nyenyak, berbeda dari biasanya yang sering terjaga dan sedikit rewel. Tapi bukannya tenang, saya dan Bunda malah makin cemas, masalahnya kami belum bisa membedakan antara tidur nyenyak dengan pingsan. Mungkinkah Maila pingsan??.

Tepat pukul 3, mobil hardtop pesanan kami akhirnya datang. Sama seperti wisatawan lainnya, tujuan kami adalah puncak Penanjakan di ketinggian 2700 mdpl untuk menyaksikan sunrise. Maila masih terlelap, tak ada gerakan lain selain gerakan nafasnya yang membuat kami tetap tenang. Kali ini tubuh mungilnya sudah berpindah ke pelukan Abinya yang bergegas masuk ke dalam mobil agar tidak membeku terkena udara luar. Tak lama kemudian, kami pun bergerak menuju puncak Penanjakan.

Setelah melewati tanjakan-tanjakan terjal, sampailah kami di Penanjakan. Ramai sekali suasananya. Wisatawan asing dan lokal berbaur menjadi satu. Untuk sampai di tribun menara, kami masih harus menaiki puluhan anak tangga lagi. Memang tidak terlalu tinggi, tapi pendakian ini cukup membuat Bunda hampir pingsan. Dinginnya udara dan makin tipis atmosfir adalah penyebabnya. Untuk memecah kebekuan, kami pun singgah sebentar di salah satu warung kopi. Maila, masih saja terlelap.

Pukul 4.30 kami sudah bersiap di tribun menara untuk menyambut matahari. Banyaknya wisatawan memaksa kami berdesakan mencari tempat ternyaman untuk berfoto. Tak lama kemudian, sudut langit mulai memerah, bintang yang tadinya berkerlip paling terang, sekarang jadi redup kalah bersaing dengan fajar. Perlahan matahari mulai beranjak dari balik lautan awan. Kawah Bromo, lautan pasir dan gunung Batok satu persatu menampakkan wujudnya untuk menyapa “selamat pagi”. Inilah keindahan alam Indonesia yang dikaruniakan Allah SWT untuk kita nikmati. Bukan hanya kita yang mengakuinya, tapi wisatawan asing pun berteriak amazing, selamat datang ladies and gentleman, alam Indonesia menyambutmu.

Tak mau kalah dengan matahari di sudut langit yang sedang jadi primadona, sepasang mata mungil pun tiba-tiba terbuka. Maila yang sedari tadi kami khawatirkan kondisinya akhirnya terbangun, seolah ingin mengalihkan perhatian Abi dan Bundanya agar tidak melulu ber-selfie dengan matahari. Jelas saja, bagi kami matahari kecil yang ada di pelukan ini jauh lebih berharga dari matahari di ujung sana. Good morning sunshine, Maila memberikan senyum pertamanya di puncak Penanjakan.

Terik mulai menyelimuti pegunungan Tengger, udara dingin yang tadinya membuat beku berubah menjadi semilir angin yang menyejukkan. Maila kecil merangkak lincah di lautan pasir, berteriak, tertawa, dan sesekali menangis saat terjerembab. Saya menjaganya dari dekat, menggendongnya saat ketakutan melihat kuda, dan meletakkannya di punggung bak penunggang kuda. Bunda duduk di sebelah pedagang minuman sambil mengabadikan momen terindah ini dengan kamera handphone.

Ya, inilah momen terindah yang pernah saya alami, bermain bersama Bunda dan Maila sambil menikmati indahnya alam Indonesia. Bagi seorang jurnalis yang hanya punya waktu 10 hari dalam sebulan, mendapatkan momen langka seperti ini tidaklah mudah. Sekian banyak gunung dan tempat indah lainnya sudah pernah saya kunjungi, tapi baru kali ini saya merasakan kebahagiaan sesungguhnya. Saya yakin, suatu saat Maila pun akan mengenang momen terindah ini di kehidupan dewasanya, momen yang mungkin tidak didapatkan oleh setiap anak di jaman modern ini. Saat anak-anak lain menikmati jalan-jalan di mall ataupun nge-games dengan gadget. Maila kecil sudah pernah mencium bau belerang kawah Bromo, menunggang kuda bersama Bunda di caldera, memeluk bunga edelweiss, lalu bergulung-gulung di safana bukit Teletubbies. Inilah dia alam Indonesia, tempat paling menyenangkan untuk bermain sambil belajar.

Saya yakin, belajar di alam akan membuat Maila tumbuh sebagai anak yang hebat. Sama seperti namanya, “Maila” yang berarti cabang pohon yang menjalar, menjangkau ke segala arah untuk mencari ilmu, dan memberikan manfaatnya ke setiap tempat yang dilalui. Namun, dia juga tetaplah “Adzra”, anak solehah yang selalu terjaga kesuciannya. Cepatlah besar matahariku!!! Sinarilah duniamu, lebih luas lagi dari yang pernah dijangkau Abimu. (ano)

Mau Cari Istri ? Outsourcing Aja …

Selama hampir 2 jam perjalanan dari Surabaya, sampailah aku di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Pasuruan. Sebuah desa santri yang nampak begitu menyejukkan hati. Pepohonan yang masih rimbun, dan juga semilir angin yang seakan turut menghantarkan lengkingan suara adzan shalat Dzuhur dari setiap masjid yang kulalui.

Belum jauh dari gerbang perbatasan desa, aku langsung disambut oleh sekelompok tukang ojek yang begitu reaktif kala melihat mobilku berhenti di pinggir jalan. Sengaja aku ingin menanyakan lokasi rumah pak Kades kepada mereka, namun apa boleh buat, belum sempat kata terlontar, para tukang ojek yang berjumlah 3 orang ini malah menanyaiku lebih dulu, “…bos, dari mana ?”, yang satu lagi nanya, “…butuh sekarang bos ?”, dan yang satunya lagi lebih parah pertanyaannya, “…ini ada yang baru bos, kalo sampeyan mau sih…”, hanya butuh sedikit waktu untuk memahami maksud pertanyaan ketiga “penerima tamu” dari Desa Kalisat ini, maklum, tujuan utamaku ke desa ini memang untuk investigasi kawin kontrak yang konon udah dikenal di kalangan luas, bahkan reputasinya tidak hanya tingkat nasional saja, melainkan udah lintas negara.

Sebut saja Asih (bukan sebenarnya), perempuan ini masih berusia 18 tahun, namun mengaku udah lebih dari 30 kali melakukan kawin kontrak. Hebatnya lagi, beberapa kali dilakukannya dengan warga negara asing, busyeeet…. kenapa bisa begitu??? Begini ceritanya, Asih adalah satu dari sekian banyak perempuan-perempuan Kalisat yang melakukan kawin kontrak dengan alasan klasik, yaitu ekonomi. Kemampuan ekonomi, dan juga pendidikan yang rendah membuat Asih harus menempuh jalan lain untuk mengeruk rupiah, yaitu dengan memperoleh “nafkah” dari pria-pria yang mengontraknya. Ketika melakukan kawin kontrak, biasanya Asih akan dinafkahi oleh sang pengontrak hingga batas waktu yang sudah disepakati sebelumnya. Jika masa kontraknya telah habis, maka Asih akan diceraikan. Dan itu berarti Asih harus mencari pengontrak baru. Namun sering juga ada pengontrak yang nakal, artinya suami kontrak Asih tiba-tiba pergi sebelum masa kontraknya habis (…lari dari ikatan dinas, hehehe…), kalo sudah demikian, biasanya Asih segera melapor ke sang “makelar” untuk mengurusnya.

Ya, “makelar”, sebuat saja begitu, mungkin kata ini tidak begitu asing, lantaran mulai dari bisnis mobil, handphone hingga sapi memakai istilah ini. Begitu juga di Kalisat, makelar adalah orang yang paling berperan dalam proses “diplomasi jalanan” ala  Kalisat ini, mulai dari mempertemukan perempuan-perempuan Kalisat dengan calon “pengontraknya”, membawanya ke kyai atau modin untuk dinikahkan secara sirri, hingga dalam proses perceraiannya kembali. Pokoknya, kalo kata makelar mah…terima beres aja deh…(gileee…beneerrr…).

Biasanya dalam perjanjian disepakati bahwa pengontrak harus menyetor uang dalam jumlah tertentu kepada makelar selama masa kontrak berlangsung, ini sebagai bentuk apresiasi sekaligus “uang tutup mulut”. Karena itu, ketika ada suami kontrak yang nakal, biasanya makelar akan mencarinya untuk meminta pertanggung jawaban (…tapi gak ada sistem penalti di sini, hihihihi…), dan jika sang suami kontrak sudah tidak bisa ditemui lagi, maka sang makelar akan melapor ke kyai atau modin yang menikahkan, agar Asih bisa memperoleh “status jandanya” kembali dengan alasan suaminya tidak lagi mengumpuli dan memberi nafkah selama 3 bulan. Itu artinya Asih bisa “diberdayakan” alias dikawin kontrak-kan lagi. Namun jangan salah, para makelar di desa ini sudah sangat professional, jadi jangan harap para pengontrak bisa main nakal dengan melarikan diri dari perjanjian kontrak. Para makelar ini tak segan melakukan teror bagi siapa saja yang hendak main curang.

Banyak pemuda-pemuda Kalisat yang berprofesi sebagai makelar, entah sebagai pekerjaan utamanya ataupun sebatas sambilan. Ketiga tukang ojek yang menyambutku juga bisa disebut makelar. Mereka selalu tau gerak-gerik tiap pendatang yang hendak mencari “mangsa” di Kalisat. Cara mengenalinya biasanya lewat plat mobil, karena itulah ketiga tukang ojek tadi begitu reaktif ketika melihat mobilku yang ber-plat “L” tiba-tiba berhenti.

Para pengontrak kebanyakan berasal dari luar kota, seperti Surabaya, Malang, bahkan tak jarang pula yang jauh-jauh datang dari Jakarta. Sedangkan yang dari luar negeri biasanya berasal dari Arab dan Malaysia. Sebut saja Tono (bukan sebenarnya) pengusaha asal Semarang berusia 40 tahun ini sengaja datang jauh-jauh ke Kalisat untuk mencari perempuan yang bisa dikontrak. Menurutnya kawin kontrak lebih “sehat” dan halal daripada “jajan” di tempat-tempat prostitusi. Ia mengaku telah menjalani kawin kontrak selama 6 bulan dengan seorang perempuan Kalisat. Setiap 2 minggu sekali dia menyempatkan diri untuk mendatangi istri kontraknya itu, sekedar mencari kepuasan lain di luar rumah. Ketika ditanya kenapa tidak menikahinya secara resmi, Tono mengaku malu jika ketahuan beristri 2, selain itu istri pertamanya juga tidak mengijinkannya untuk berpoligami.

Bagaimana dengan kyai atau modin ??? Sejauh ini para pemuka agama di Kalisat adem-ayem saja, bisa dikatakan sebagian besar para modin cukup koperatif dengan para makelar. Menurut mereka, kawin kontrak adalah “sirri” yang sah menurut agama, bahkan proses akad nikahnya pun telah memenuhi persyaratan agama, yaitu adanya calon laki-laki dan perempuan, wali pihak perempuan, dua orang saksi, dan adanya ijab-qabul. Entah disadari atau tidak, seakan mereka tidak memikirkan ada-tidaknya perjanjian masa kontrak ataupun kepentingan lain dibalik itu. Bahkan dari beberapa sumber mengatakan, tidak ada upaya apapun yang dilakukan para pemuka agama ini untuk menyadarkan dan menjelaskan arti nikah sirri yang sebenarnya kepada tiap-tiap pasangan kontrak yang dinikahkan (…yang penting dapet duit…beresss…).

Lalu bagaimanakah menurut Islam sendiri ??? Kata “sirri” berasal dari bahasa arab “sirra” atau “israr’ yang berarti rahasia. Nikah sirri sendiri berarti nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia. Sedangkan dalam prakteknya di masyarakat nikah sirri adalah pernikahan yang tidak disaksikan oleh banyak orang dan tidak dicatat di KUA setempat. Istilah nikah sirri, sebenarnya bukan masalah baru dalam masyarakat Islam, sebab kitab Al-Muwatha’, mencatat bahwa istilah ini berasal dari ucapan Umar bin Khattab r.a ketika diberitahu bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka dia berkata yang artinya “Ini nikah sirri dan aku tidak memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam”.

Pengertian nikah sirri dalam persepsi Umar tersebut didasarkan oleh adanya kasus pernikahan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka pernikahan semacam ini menurut Umar dipandang sebagai nikah sirri. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (batal). Namun apabila saksi telah terpenuhi tapi para saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan pernikahan yang mereka saksikan, ulama besar berbeda pendapat.

Jadi, dalam Islam sendiri keabsahan nikah sirri masih menjadi perdebatan. Celah inilah yang seakan dimanfaatkan oleh masyarakat kita sebagai alasan untuk menghindari “zina”. Begitu juga yang dilakukan para pendatang yang hendak melakukan nikah sirri di Desa Kalisat. Kawin kontrak secara sirri mereka lakukan agar praktek prostitusi yang dijalani tidak disebut zina alias berlabel halal.

Salah seorang pemuka agama di Kalisat menjelaskan padaku bahwa memang ada 2 tipe nikah sirri yang terjadi di Kalisat, yang pertama adalah nikah sirri karena terpaksa, yaitu warga kalisat yang miskin sehingga tidak sanggup menggelar pesta pernikahan dan terpaksa menjalani nikah secara sirri, sedangkan tipe kedua adalah nikah sirri dengan sistem kontrak atau yang biasa disebut kawin kontrak melalui perantara seorang makelar. Tipe kedua ini memang udah biasa terjadi dan dianggap wajar oleh masyarakat setempat. Para pemuka agama hanya bisa pasrah ketika diminta untuk menikah sirri-kan para pelaku kawin kontrak ini. Selain itu, pihak keluarga atau wali perempuan-pun seakan membiarkan begitu saja ketika anak perempuan mereka dikawin kontrak. Karena bagi mereka, itu merupakan sumber penghasilan buat keluarga.

Jujur, aku sudah terbiasa menjalani tugas ke tempat-tempat macam ini, sebutlah beberapa daerah seperti Rumbug di Lombok, Bongas di Indramayu, ataupun Dukuhseti di Pati, namun baru kali ini aku menemukan tempat yang luar biasa “dahsyat” seperti di Kalisat. Ternyata tidak hanya buruh yang bisa direkrut dengan sistem outsourcing, istri-pun bisa. Hehehe…hanya di Indonesia, negara miskin dengan sejuta fenomenanya. (a no)

Mimpi Kartini Untuk Anak Negeri

Wahai ibu kita Kartini, putri yang mulia… Sungguh besar cita-citanya, bagi Indonesia…

Benarkah Kartini punya cita-cita besar bagi bangsa Indonesia ? Cukupkah dengan sebuah cita-cita itu bisa menahbiskan seseorang menjadi pahlawan? Pahlawan memang tak mungkin seutuhnya  ideal, mereka juga manusia, tak hanya Kartini, negeri ini kaya dengan pahlawan perempuan lainnya. Setuju ataupun tidak, toh pada tahun 1964 presiden Soekarno telah mengganjar Kartini dengan gelar Pahlawan Nasional. Dan hingga kini tanggal kelahirannya pun selalu diperingati sebagai simbol pengakuan terhadap persamaan hak kaum perempuan dengan istilah “emansipasi”, yang telah menjadi inspirasi kuat bagi jutaan perempuan Indonesia.

RA.Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Pada waktu itu Indonesia sangat dikuasai norma-norma kehidupan feodal dan masih terdapat diskriminasi antara anak laki-laki dan perempuan dalam menuntut pendidikan. Anak laki-laki mempunyai kesempatan yang terbuka untuk memperoleh pendidikan tinggi dan sebaliknya anak perempuan harus dipingit di rumah sesudah menyelesaikan pendidikan dasar.

Tumbuh dalam kecerdasan keluarga bangsawan Jawa dan pendidikan Belanda, sikap kritis kartini kecil terbentuk. Tak heran, di tengah kekakuan adat Jawa dan Agama, Kartini muda sudah bermimpi tentang kemajuan perempuan sejamannya. Mimpi itu diwujudkannya dengan mengajar perempuan jawa menulis, membaca serta sejumlah keterampilan lain.

Salah satu pemikiran besar Kartini adalah kesetaraan gender di bidang pendidikan, khususnya menyangkut budaya Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan kaum perempuan. Beliau bercita-cita agar kedudukan perempuan sama dengan laki-laki dalam hal pemerolehan kesempatan belajar dan menimba pengetahuan.

Sayang Kartini tak bisa menikmati jerih payah perjuangannya sendiri. Kartini mati muda, tak lama setelah melahirkan putra pertamanya RM Soesalit. Perjuangan kartini tak lantas hilang jejaknya, pemikirannya yang melampaui jaman direkam oleh JH Abendanon dalam buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Dalam bukunya itu Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dipoligami. Ide dan cita-cita Kartini tak lepas dari Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Yang paling menarik dari sosok Kartini adalah kritik besarnya terhadap doktrin Agama. Kartini memiliki pandangan yang sangat progresif terhadap tafsir Agama Islam pada masa itu. Ada tiga kritik besar Kartini terhadap pemahaman Ajaran Islam. Yang pertama, Kartini mengkritik pemahaman kitab suci yang serba tekstual (harfiah), yaitu metodologi pembelajaran teks yang lebih berorientasi pada pelafalan dan penghafalan teks daripada metode pemahaman makna teks itu sendiri.

Kedua, kritik mengenai doktrin pluralisme dan toleransi beragama. Kartini mengkritisi pandangan keagamaan yang sempit perihal menolak kebebasan beragama serta melakukan kekerasan atas nama agama. Agama bagi Kartini, adalah sebuah ajaran yang mampu memberikan keselamatan dan perdamaian bagi sesamanya bukan tindakan anarkis dan main hakim sendiri atas nama Tuhan.

Secara eksplisit, Kartini menyatakan dalam suratnya: Dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…

Dan yang ketiga, Kartini mempertanyakan justifikasi Agama terhadap poligami bagi kaum laki-laki. Kartini melihat bahwa konstruksi budaya yang didukung tafsir Agama yang sangat patriarkis melengkapi kesempurnaan penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan bersedia untuk dipoligami.

Dekonstruksi doktrin Agama yang digagas Kartini tersebut memang hanya sebatas penggalan tulisan dalam surat yang tidak terangkai secara sistematis, bahkan keasliannya pun masih dipertanyakan. Banyak yang menilai pemikiran-pemikiran emansipasi Kartini tersebut direka oleh Abendanon, sahabat kartini yang merupakan pejabat Menteri Kebudayaan Hindia Belanda, karena pada masa itu politik etis tengah santer gemanya.

Di sisi lain Kartini juga dinilai tak konsisten perjuangannya, karena mau tunduk pada poligami dan adat Jawa setelah menikah dengan RTAA Djojohadiningrat. Namun demikian, tiga kritik sekaligus gagasan besar Kartini sangat relevan dalam konteks sekarang, karena menyangkut problem metodologi penafsiran teks, problem pluralisme dan toleransi, serta kesetaraam gender dalam Agama.

Pada masa sekarang, emansipasi perempuan kerap disalah artikan oleh sebgaian dari kita. Emansipasi selalu disangkut-pautkan dengan mengejar karir setinggi langit, kesetaraan gender yang kebablasan, bahkan dengan mengorbankan kodratnya sebagai perempuan. Padahal sesungguhnya apa yang diperoleh dari itu semua, terlebih dengan mengorbankan kodratnya sebagai perempuan adalah sebuah kekalahan paling telak bagi kaum perempuan.

Kodrat perempuan yang lazim kita kenal adalah bahwa setelah seorang perempuan menikah, kemudian akan mengurus keperluan suaminya, melahirkan anak dan menjaganya hingga dewasa, merupakan suatu bentuk kebahagian yang paling alami, namun bagi sebagian yang lain bentuk kehidupan tersebut adalah pengekangan dimana wanita tidak bebas bergerak dalam menentukan hidupnya sebagaimana laki-laki.

Atas dasar penolakan bentuk kehidupan tersebut, maka sebagian perempuan menyuarakan adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Kesetaraan gender atau emansipasi wanita yang berasal dari barat terkadang kebablasan, mengejar karir setinggi langit dan melupakan kodratnya sebagai perempuan, akibatnya banyak perempuan di negara-negara barat enggan menikah bahkan enggan untuk melahirkan. Di negara kita sendiri, tidak sedikit kondisi seperti itu dijumpai. Salah satunya adalah perceraian yang disebabkan oleh ketidak harmonisan rumah tangga lantaran persaingan antara suami dan istri dalam meniti karir.

Kartini-kartini di masa sekarang harusnya punya PR (pekerjaan rumah) yang jauh lebih berat dibandingkan jaman dulu. Bukan berarti kesetaraan gender yang dirintis oleh RA Kartini dulu telah selesai dan tinggal dinikmati saja, melainkan bagaimana Kartini masa kini mampu menjaga emansipasi tersebut tanpa harus mengorbankan kodratnya.

Kita hidup di negara yang demokratis, negara yang mengakui emansipasi perempuan, dan yang paling hebatnya lagi adalah negara yang pernah dipimpin oleh perempuan. Namun demikian isu-isu seputar kesetaraan gender dan kekerasan dalam rumah tangga masih sering kita jumpai. Inilah yang perlu dipikirkan oleh Kartini-kartini masa kini, bukan semata-mata mengejar karir setinggi-tingginya tanpa melihat perempuan-perempuan lain disekitarnya.

Emansipasi yang disuarakan oleh Kartini dulu sebenarnya lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan saat itu memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai pada masyarakat Jawa, dan kebebasan dalam berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Bukannya menuntut agar perempuan dapat mengerjakan pekerjaan laki-laki. Toh, pada kenyataannya perempuan juga tidak akan mampu mengerjakan semua pekerjaan laki-laki.(a no)

Tayangan Kupas Tuntas TRANS 7 / 22 April 2008 pkl 23:30 WIB

 

Kala Wanita Tak Lagi Dihormati

Pernikahan adalah sebuah jalan yang tersedia bagi setiap manusia

Pernikahan adalah sebuah perjanjian yang agung antara seorang pria dan seorang wanita

Pernikahan adalah fitrah manusia

Pernikahan adalah sumber rezeki

Pernikahan adalah sebuah KEBERSAMAAN dan PERSAHABATAN

Pernikahan adalah kehidupan baru yang harus difahami agar berjalan indah

Namun semua jargon pernikahan itu mungkin tidak pernah ada di benak sebagian besar pria-pria Lombok. Bebalu yang dalam bahasa Indonesia berarti janda, merupakan fenomena tersendiri di Desa Rumbug, Kecamatan Sakra, Lombok Timur. Banyak bebalu di daerah ini. Rumbug hanyalah salah satu diantara sekian banyak wilayah di pulau Lombok yang memiliki angka kawin-cerai cukup tinggi. Jumlah janda di pulau Lombok memang cukup fantastis, yakni lebih dari 60.000 orang (data 2006-2007), dan turut mempengaruhi kondisi perekonomian di pulau tersebut.

Di Jakarta kita sering menjumpai selebritis yang ribet dengan urusan perceraian. Salah satu contoh sebut saja kasusnya Dhani dan Maia yang tidak kunjung terselesaikan, bahkan menghabiskan banyak duit untuk proses persidangan. Namun hal semacam itu nampaknya tidak akan pernah dijumpai di Lombok.

Di Lombok, ketika suami mengatakan “cerai” sekali saja -entah itu serius atau sekedar bercanda- maka hukumnya sudah setara dengan talaq 3 dan wajib bagi pasangan tersebut untuk bercerai (dengan minimal 3 orang saksi). Proses persidangan pun tak perlu mereka tempuh, karena masyarakat di pulau seribu masjid ini lebih percaya kyai daripada bapak hakim.

Kasus perceraian di Rumbug sebagian besar didasari oleh permasalahan sepele. Sebut saja Mustaqim (30), dia mengaku sangat senang bisa menikahi Ida (25), istri keduanya, lantaran saat itu sawahnya sedang panen besar-besaran, namun beberapa bulan kemudian ia menceraikan Ida hanya gara-gara duit hasil panennya telah habis dan dia merasa tidak sanggup lagi menafkahi Ida.

Begitu juga dengan Rahmat (27), mengaku bahwa dirinya bahagia bisa menikah dengan Yuni (18), wanita idamannya, namun beberapa bulan kemudian dia harus rela menceraikan Yuni lantaran kalah taruhan bola dengan temannya, taruhannya saat itu adalah siapa yang kalah harus menceraikan istrinya (busyeeet….).

Sedangkan Ilham (40) lebih kreatif lagi, dia sengaja menceraikan Asmi (32), istri pertamanya, dengan alasan Azmi tidak sanggup memberinya anak perempuan. Ketiga anaknya dari Azmi semuanya laki-laki, dan setelah Ilham menikah lagi dengan Rahayu (26), dia baru bisa punya anak perempuan. Mungkin suatu saat dia bisa beralasan pengen punya anak banci untuk menceraikan Rahayu (hihihi….).

Ada beberapa faktor yang mendukung tingginya angka kawin cerai di Lombok, antara lain faktor ekonomi dan pendidikan. Inilah yang kemudian melahirkan istilah “Jamal” alias Janda Malaysia. Kebanyakan masyarakat di Rumbug menikah di usia dini dan dalam keadaan sang suami belum memiliki pekerjaan yang tetap. Rendahnya kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan menyebabkan pemuda-pemuda desa Rumbug tak punya alternatif pekerjaan lain selain bertani dan menjadi TKI di Malaysia. Tercatat sekitar 30.000 lebih TKI dari Lombok yang dikirim ke Malaysia per tahunnya (data 2006-2007). Banyak wanita-wanita di Lombok yang ditinggalkan suaminya, bertahun-tahun mereka kesepian dan hancur harapan lantaran ketika pulang sang suami malah menceraikan mereka. Maklum, dengan dompet yang lebih tebal, kini suaminya bisa mencari wanita lain yang lebih “aduhai” untuk dinikahi.

Sebagian besar memang lebih memilih bercerai daripada berpoligami. Dengan alasan terbatasnya kemampuan ekonomi, mereka menganggap dirinya tidak akan mampu berbuat adil jika berpoligami. Karena itu wajar jika seorang pria pernah kawin-cerai hingga lebih dari lima kali. Pria-pria di desa Montong Tangi -3 km dari Rumbug- malah menganggap dirinya hebat jika pernah kawin-cerai hingga puluhan kali. Sebuah fenomena yang luar biasa di sudut kecil belahan Nusantara.

Lalu manakah yang lebih manusiawi? kawin-cerai atau poligami? Yang jelas, dengan keduanya wanita akan merasa tidak lagi dihormati (ANO).

PKL, POL PP & JURNALIS

Pagi itu aku dibangunkan oleh bunyi ringtone Nokia 3110-ku yang nyaring di telinga (klo gak salah lagu Song 2-nya Blur), sekilas di layarnya kulihat nomor 021798xxx yang artinya itu pasti telepon dari kantor. Ternyata memang benar, suara khas Korlip (Koordinator Liputan red) yang ternyata lebih nyaring dari bunyi ringtone-ku barusan begitu mengagetkan aku. Sesaat kulihat jadwal liputan yang tertempel di dinding kamar jelas tercetak huruf “S”, yang artinya hari itu adalah jadwalku liputan siang. Namun Korlip tiba-tiba saja memintaku masuk pagi dengan alasan tim yang seharusnya bertugas pagi itu sedang DLK (Dinas Luar Kota red). Sebagai seorang karyawan (lebih tepatnya buruh) teladan yang loyal terhadap perusahaan, tanpa berpikir panjang aku segera beranjak dari tempat tidur, mandi, mengenakan seragam kebesaran (size-nya maksudnya), dan berangkat ke kantor sesaat kemudian.

Begitu tiba di kantor aku segera mengambil form mobil dan 2 buah kaset kosong, serta menyiapkan kamera di bagian logistik. Dan tak lama kemudian, sebuah mobil Panther silver telah membawaku meninggalkan mako (mako = markas komando = kantor red) untuk hunting berita.

Tadinya aku bermaksud untuk sejenak melanjutkan tidurku di dalam mobil (yang AC-nya begitu menyejukkan). Namun belum sempat mata terpejam, ponselku udah “bernyanyi” lagi, kali ini dari rekan wartawan media lain yang memberi info bahwa akan ada penertiban PKL (Pedagang Kaki Lima red) di barat, tepatnya di Kecamatan X (maaf disensor), dan dia mengajakku untuk liputan bareng. Secepat kilat mobil Pantherku segera meluncur ke lokasi. Dan ternyata memang benar, para petugas Satpol PP dan beberapa polisi telah berkumpul di halaman kantor kecamatan. Begitu juga rekan-rekan wartawan dari berbagai media juga telah berkerumun di lobi kantor.

Menjelang siang, rombongan-pun berangkat menuju lokasi penertiban. Sekitar 5 buah truk petugas berjalan beriringan, dan seperti biasa kami para wartawan mengikuti dari belakang dengan mobil masing-masing.

Dalam waktu sekejap para petugas dengan sigap telah merobohkan puluhan lapak-lapak liar yang sesaat kemudian diiringi suara teriakan-teriakan dan isak tangis para pemilik lapak (yang jelas aku tidak tega menceritakannya lebih detil). Sebagian besar bangunan yang dirobohkan terbuat dari papan, tripleks dan seng. Dan berdasarkan analisisku, memang para PKL itu pantas untuk ditertibkan. Trotoar yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk para pejalan kaki ternyata telah mereka jadikan deretan kios dan warung yang merusak keindahan kota, ditambah lagi sampah-sampah hasil jualan mereka yang berserakan dimana-mana menjadikan tempat itu terkesan kumuh.

Serta merta aku mulai beraksi dengan kamera DSR PD170-ku. Melemparkan sorotan-sorotan tajam ke setiap sudut lokasi penertiban. Kaset miniDV yang tadinya hanya berisi colourbars selama 10 detik, seketika telah dipenuhi “lukisan-lukisan” indah yang menggambarkan fakta saat itu, mulai dari yang paling histeris hingga yang paling memalukan sekalipun. Jelasnya, diriku serasa berpesta gambar hari itu. Tak lupa pula aku mencatat data-data yang sekiranya kuperlukan, serta “mengambil” beberapa soundbite (wawancara red).

Tak terasa begitu cepat semua itu berlalu. Menjelang sore, sekitar 70 bangunan liar berhasil dirobohkan. Petugas-pun segera kembali ke pos mereka dengan membusungkan dada, bak John Rambo baru pulang dari Afghanistan dalam film First Blood Part 3. meraka seakan puas dengan hasil “pertempuran” melawan PKL liar yang baru saja mereka menangkan.

Sesampainya di kantor kecamatan, jamuan makanan telah tersedia. Secepatnya para petugas pamong praja itu berebut nasi bungkus yang dibagikan oleh pegawai kecamatan. Dan yang paling penting, jatah nasi bungkus buat wartawan-pun tersedia (hehehe…).

Dalam hati, jutaan simpati tercurah buat sekompi Satpol PP yang sedang asik dengan nasi padang mereka. Bagiku, loyalitas terhadap negara telah mereka perlihatkan dengan hebat hari itu. Walaupun dengan gaji yang tidak seberapa mereka tampak begitu bersemangat menjalankan tugasnya. Pantas jika sekantong nasi bungkus mereka perebutkan. Seakan menjelaskan bahwa hanya dengan nasi bungkus saja loyalitas mereka sudah bisa kita dapatkan.

Disela-sela keasikan orang-orang yang sedang menikmati makanannya, seorang laki-laki agak tua berpakaian seragam coklat muda dan membawa map merah mendatangi kami para wartawan. Dengan bahasa diplomatis dia menyampaikan banyak terima kasih kepada rekan-rekan media. Dan tak lama setelah itu dibukanya map merah ditangan kanannya yang ternyata berisi tumpukan “amplop”. Sebagai seorang jurnalis yang telah memiliki jam terbang, tentu aku sudah bisa menebak apa isi amplop tersebut. Beberapa wartawan tampak antusias mengambil amplop-nya masing-masing, namun ada juga yang cuek (atau sok cuek ???) dengan tidak mengambilnya. Yang jelas aku termasuk salah satu yang tidak menerima amplop tersebut. Kebetulan pada saat itu Korlip sudah menelepon dan memintaku untuk segera kembali ke kantor, karena liputanku akan dipakai buat berita sore. Segera aku melesat ke selatan menuju kantor.

Sesampainya di kantor, seperti biasa aku segera preview gambar dan mengetik naskah sesuai gambar dan data-data yang kudapat selama liputan. Alhamdulillah, ternyata beritaku benar-benar tayang sore itu, bahkan naskahnya-pun lolos edit. Artinya aku bisa pulang dengan membawa kepuasan tersendiri. Vivat !!!

***

Sebelum tidur malam, kusempatkan untuk mengevaluasi apa saja yang kualami seharian. Dan ternyata kudapatkan beberapa permasalahan penting, yaitu :

Yang pertama, mengapa penertiban PKL begitu marak di negara kita? Sebegitu liarkah mereka hingga susah diatur? Lalu apa yang menjadikan mereka begitu? Berdasarkan Ilmu Ekonomi yang pernah kupelajari waktu SMU dulu, fenomena keberadaan PKL disebabkan adanya konsep involution yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda, dimana saat itu pertumbuhan penduduk meningkat pesat dan mengakibatkan meningkatnya jumlah lapangan pekerjaan, sehingga muncul-lah sistem ekonomi bazaar bagi penduduk pribumi agar kebutuhan pokok dapat terpenuhi. Dan setelah pemerintahan kolonial berakhir, sistem ekonomi bazaar ini tetap ada dan menjadi suatu bentuk perdagangan informal yang perkembangannya makin tak terkendali seperti halnya PKL di perkotaan. Penyebab utama berkembangnya pedagang informal macam PKL ini adalah karena adanya kebebasan pedagang untuk menentukan pendapatan dan waktu kerjanya. Dengan sistem “jemput bola” terhadap konsumen, pastinya menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan pedagang yang berdiam diri di pasar kota. Sistem jemput bola inilah yang coba diterapkan para pelaku bisnis mikro bernama PKL.

Tentunya bukan mutlak salah mereka jika mereka terus bergerak mencari tempat-tempat strategis untuk menjemput konsumen dan mancari keuntungan semaksimal mungkin. Mengutip sedikit kata-kata nenekku dulu, bahwa rizki itu harus dijemput bukan ditunggu. Toh pemerintah juga mengakui keberadaan perdagangan sektor informal dalam perekonomian negara kita.

Berdasarkan wawancaraku dengan para PKL, mereka mengaku telah membayar retribusi setiap harinya. Entah itu pungutan resmi dari pemerintah, ataupun pungutan liar dari aparat lain, preman, mafia atau apalah namanya, yang jelas para PKL itu merasa keberadaan mereka legal dengan membayar retribusi tersebut. Karena itu beberapa di antara mereka menolak ketika lapak-lapak mereka dibongkar paksa oleh petugas. Pungutan liar alias pungli sudah sering terdengar di telinga kita. Merekalah “oknum” yang sengaja memanfaatkan keberadaan PKL demi mengeruk duit. “Oknum” itulah yang telah memberikan jaminan keamanan kepada PKL, dan ketika lapak-lapak PKL ditertibkan petugas, oknum tersebut tiba-tiba “menghilang” (siapa sih sebenarnya “oknum” tersebut ???). Jika sudah seperti itu, manakah yang lebih penting untuk ditertibkan, PKL atau pungli? (yang jelas, koruptor-koruptor negara lebih penting untuk ditertibkan, bukan begitu boss ?)

Kedua, mungkin aku tidak akan mampu menjalani profesi sebagai seorang Satpol PP. Menjalani pekerjaan dengan resiko besar namun dengan upah yang mungkin tidak sebanding. Bahkan seandainya bisa memilih, para pamong praja itu sendiri pasti lebih senang menjalani profesi lainnya (kata-katanya PSK bangeeet…). Loyalitas Pol PP patut diacungi jempol. Sehebat apapun kebencian para PKL terhadap mereka, tak membuat abdi negara ini gentar, walaupun sebagai manusia normal pasti mereka punya rasa kasihan juga. Mereka hanya menjalankan tugas negara, lebih tepatnya lagi tugas atasan. Mereka tak mempedulikan untuk kepentingan siapakah sebenarnya tugas itu dijalankan, murni kepentingan negara ataukah kepentingan “oknum” tertentu. Mereka itu hanyalah alat, yang bisa digunakan oleh siapa saja yang ingin naik pangkat dan jabatan. Bahkan mungkin merekalah yang suatu saat berada di garis depan ketika negara kita dalam siaga perang. Namun demikian Pol PP tetaplah Pol PP, sampai kapanpun Pol PP tidak akan pernah bisa jadi Presiden.

Dan yang ketiga, menertibkan PKL demi menjaga keindahan kota adalah tugas pemerintah setempat. Membongkar paksa lapak-lapak liar adalah tindakan yang benar, karena sepertinya tidak ada cara lain yang lebih tegas selain cara ini. Namun mengapa tindakan yang benar itu harus dicemari dengan yang namanya “amplop”? Apakah mempublikasikan kebenaran itu harus dengan duit? Perasaan tidak pernah ada dalam peraturan manapun yang menuliskan bahwa kebebasan pers itu ditentukan dengan duit.

Profesi wartawan memang penghasilannya tidak seberapa, namun bukan berarti wartawan itu identik dengan amplop, karena tidak semua wartawan itu wartawan bodrex. Bukannya munafik dan bukannya aku tidak butuh duit, tapi mereka itu memberikannya pada saat yang tidak tepat, yaitu saat aku menenteng kamera dan mengenakan seragam jurnalis. Seandainya aku bukan lagi seorang wartawan, yang sedang hidup susah, kelaparan dan sakit-sakitan, apakah mereka masih mau memberiku amplop? Boro-boro ngasih amplop, ngurus KTP aja pungutannya macam-macam (yang ada malah dipalakin).

Justru amplop itulah yang membuat kepercayaanku pada aparat pemerintah menjadi berkurang. Apakah tindakan penertiban itu murni bentuk loyalitas kerja ataukah demi kepentingan lain??? Kenapa juga selama bertahun-tahun baru kali itu diadakan penertiban di lokasi tersebut??? Masa bodoh ah… yang penting beritanya sudah kutulis dan sudah tayang di televisi, cukup itu saja yang membuatku puas. Selebihnya, biarlah lensa putihku yang bicara…(ano)

Jakarta Pesta Pora, Bojonegoro & Ngawi Menangis

Ironi. Mungkin ini adalah kalimat yang pas ketika menyambut perayaan Tahun Baru 2008 kali ini. Betapa tidak, ketika wilayah Jakarta “membakar uang” dengan perayaan kembang api, tetapi di wilayah Bojonegoro dan Ngawi, Jawa Timur, saudara kita kebanjiran.

Seperti yang terlihat di malam pergantian tahun baru, Selasa (1/1/2008), pemerintah DKI Jakarta menyalakan 10.000 kembang api dengan durasi 30 menit. Bahkan untuk memenuhi target, Pemprov mengimpor kembang api tersebut dari tiga Negara yakni Asutralia, Jepang, Spanyol, dan China.

Kondisi berbeda terlihat di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya Karanganyar, Ngawi dan Bojonegoro. Ratusan warga merintih kedinginan, kekurangan makan, dan kekurangan obat-obatan.

Tercatat, hingga Senin 31 Desember tercatat sedikitnya 23 orang tewas akibat banjir di Ngawi. Bahkan di Bojonegoro, banjir sudah menggenangi wilayah kota. Walaupun ketinggian air sudah sedikit menyurut, namun akvitas warga masih lumpuh.

Mengetahui kondisi ini, seperti miris mendengarnya. Apakah tidak semestinya biaya “pesta pora” di Jakarta dialokasikan kepada ribuan warga kita di Indonesia yang saat ini masih dilanda musibah.

Apalagi biaya yang dikeluarkan mencapai ratusan juta, bahkan sampai miliaran. Betapa sangat berharganya nilai tersebut bagi saudara kita di sana. Paling tidak, puluhan bayi dapat pakaian dan makan yang layak, ratusan anak tidak kedinginan, ribu warga dapat cepat terevakuasi dengan penambahan perahu.

Memang perayan tahun baru ini hanya digelar setahun sekali, namun jika terlalu berlebihan digelar, seakan pemerintah tutup kuping, mata, dan mulut atas penderitaan saudara kita di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Walau secara geografis posisi Jakarta dan Jawa Timur jauh, namun kedua wilayah ini masih satu bangsa yakni Indonesia. Ironi, mungkin itu kalimat yang tepat melihat kenyataan tersebut. (Kemas Irawan Nurrachman – Okezone)