Jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Belum terlihat apa-apa di luar sana, semuanya masih gelap gulita. Hanya nampak kabut bercampur asap-asap perapian yang menyelimuti desa sejak terbenamnya matahari, tak terkecuali di penginapan sederhana tempat kami menginap. Bagi kami bukan pengap dan kotornya penginapan yang menjadi masalah dalam acara liburan kali ini, melainkan dinginnya udara yang mencapai puncaknya hingga -1°C. Di musim panas, suhu udara gunung Bromo memang jauh lebih dingin dari biasanya.
Bunda mulai gelisah tak bisa tidur. Saya pun sama, tapi bukan karena insomnia, melainkan demi menjaga anak kami Maila agar tidak hypothermia. Ya, Maila adalah bayi perempuan kami yang baru menginjak 7 bulan dan masih merangkak. Mengajaknya berlibur ke Bromo saat suhunya ekstrim memang sangat beresiko, dan saya yakin tidak banyak orang tua nekat yang melakukannya. Tapi apa mau dikata, inilah nazar kami untuk Maila, kami ingin mengajaknya berpetualang sedini mungkin agar mengenal indahnya alam Indonesia.
Maila masih terlelap, baju hangat tiga lapis dan selimut tebal menjaganya dari sengatan udara dingin pegunungan Tengger. Tidurnya sangat nyenyak, berbeda dari biasanya yang sering terjaga dan sedikit rewel. Tapi bukannya tenang, saya dan Bunda malah makin cemas, masalahnya kami belum bisa membedakan antara tidur nyenyak dengan pingsan. Mungkinkah Maila pingsan??.
Tepat pukul 3, mobil hardtop pesanan kami akhirnya datang. Sama seperti wisatawan lainnya, tujuan kami adalah puncak Penanjakan di ketinggian 2700 mdpl untuk menyaksikan sunrise. Maila masih terlelap, tak ada gerakan lain selain gerakan nafasnya yang membuat kami tetap tenang. Kali ini tubuh mungilnya sudah berpindah ke pelukan Abinya yang bergegas masuk ke dalam mobil agar tidak membeku terkena udara luar. Tak lama kemudian, kami pun bergerak menuju puncak Penanjakan.
Setelah melewati tanjakan-tanjakan terjal, sampailah kami di Penanjakan. Ramai sekali suasananya. Wisatawan asing dan lokal berbaur menjadi satu. Untuk sampai di tribun menara, kami masih harus menaiki puluhan anak tangga lagi. Memang tidak terlalu tinggi, tapi pendakian ini cukup membuat Bunda hampir pingsan. Dinginnya udara dan makin tipis atmosfir adalah penyebabnya. Untuk memecah kebekuan, kami pun singgah sebentar di salah satu warung kopi. Maila, masih saja terlelap.
Pukul 4.30 kami sudah bersiap di tribun menara untuk menyambut matahari. Banyaknya wisatawan memaksa kami berdesakan mencari tempat ternyaman untuk berfoto. Tak lama kemudian, sudut langit mulai memerah, bintang yang tadinya berkerlip paling terang, sekarang jadi redup kalah bersaing dengan fajar. Perlahan matahari mulai beranjak dari balik lautan awan. Kawah Bromo, lautan pasir dan gunung Batok satu persatu menampakkan wujudnya untuk menyapa “selamat pagi”. Inilah keindahan alam Indonesia yang dikaruniakan Allah SWT untuk kita nikmati. Bukan hanya kita yang mengakuinya, tapi wisatawan asing pun berteriak amazing, selamat datang ladies and gentleman, alam Indonesia menyambutmu.
Tak mau kalah dengan matahari di sudut langit yang sedang jadi primadona, sepasang mata mungil pun tiba-tiba terbuka. Maila yang sedari tadi kami khawatirkan kondisinya akhirnya terbangun, seolah ingin mengalihkan perhatian Abi dan Bundanya agar tidak melulu ber-selfie dengan matahari. Jelas saja, bagi kami matahari kecil yang ada di pelukan ini jauh lebih berharga dari matahari di ujung sana. Good morning sunshine, Maila memberikan senyum pertamanya di puncak Penanjakan.
Terik mulai menyelimuti pegunungan Tengger, udara dingin yang tadinya membuat beku berubah menjadi semilir angin yang menyejukkan. Maila kecil merangkak lincah di lautan pasir, berteriak, tertawa, dan sesekali menangis saat terjerembab. Saya menjaganya dari dekat, menggendongnya saat ketakutan melihat kuda, dan meletakkannya di punggung bak penunggang kuda. Bunda duduk di sebelah pedagang minuman sambil mengabadikan momen terindah ini dengan kamera handphone.
Ya, inilah momen terindah yang pernah saya alami, bermain bersama Bunda dan Maila sambil menikmati indahnya alam Indonesia. Bagi seorang jurnalis yang hanya punya waktu 10 hari dalam sebulan, mendapatkan momen langka seperti ini tidaklah mudah. Sekian banyak gunung dan tempat indah lainnya sudah pernah saya kunjungi, tapi baru kali ini saya merasakan kebahagiaan sesungguhnya. Saya yakin, suatu saat Maila pun akan mengenang momen terindah ini di kehidupan dewasanya, momen yang mungkin tidak didapatkan oleh setiap anak di jaman modern ini. Saat anak-anak lain menikmati jalan-jalan di mall ataupun nge-games dengan gadget. Maila kecil sudah pernah mencium bau belerang kawah Bromo, menunggang kuda bersama Bunda di caldera, memeluk bunga edelweiss, lalu bergulung-gulung di safana bukit Teletubbies. Inilah dia alam Indonesia, tempat paling menyenangkan untuk bermain sambil belajar.
Saya yakin, belajar di alam akan membuat Maila tumbuh sebagai anak yang hebat. Sama seperti namanya, “Maila” yang berarti cabang pohon yang menjalar, menjangkau ke segala arah untuk mencari ilmu, dan memberikan manfaatnya ke setiap tempat yang dilalui. Namun, dia juga tetaplah “Adzra”, anak solehah yang selalu terjaga kesuciannya. Cepatlah besar matahariku!!! Sinarilah duniamu, lebih luas lagi dari yang pernah dijangkau Abimu. (ano)